Bangka, Gaspar86.com — Suara mesin perahu nelayan yang biasanya tenang di kawasan alur sungai belakang Rusunawa, Nelayan 2, Kabupaten Bangka, kini berubah bising oleh deru mesin ponton tambang timah. Belasan hingga puluhan ponton rajuk skala besar dilaporkan masuk dan beroperasi di jalur utama lalu lintas perahu nelayan, Jumat (7/11/2025).
Akibat aktivitas tambang timah ilegal tersebut, jalur yang selama ini menjadi urat nadi ekonomi masyarakat nelayan kini terganggu. Selain membahayakan keselamatan pelayaran, kegiatan tambang juga menyebabkan pendangkalan dan pencemaran air di alur tangkap ikan.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Bangka mengaku telah menerima laporan dari para nelayan melalui pesan WhatsApp lengkap dengan video aktivitas tambang di kawasan tersebut.
“Kita dari HNSI mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas aktivitas ini dan ke mana hasil biji timah tersebut disalurkan. Sesuai amanah Undang-Undang Pasal 33 Ayat 3, kekayaan alam harus dikembalikan untuk kemakmuran rakyat,” ujar Ketua HNSI Kabupaten Bangka.
Ia menegaskan, HNSI tidak anti terhadap kegiatan pertambangan, namun meminta agar ada kejelasan pihak yang bertanggung jawab.
“Yang kami khawatirkan, kalau dibiarkan tanpa pengawasan, bisa terjadi insiden seperti kebakaran ponton beberapa waktu lalu. Kami tidak ingin masyarakat atau nelayan yang menjadi korban,” tambahnya.
Salah satu nelayan yang terdampak saat diwawancarai di lokasi mengatakan, jalur sungai tersebut merupakan akses utama mereka untuk mencari nafkah.
“Alur itu jalur kami untuk mencari makan. Kalau ditambang, pasti dangkal dan kotor karena limbah dari tambang timah ilegal. Sekarang kami kesulitan keluar masuk perahu,” keluhnya.
Aktivitas tambang di jalur nelayan dinilai telah melanggar sejumlah aturan perundang-undangan, di antaranya:
UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, yang menjamin hak nelayan atas wilayah tangkap tradisional dari gangguan aktivitas lain seperti pertambangan.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang mewajibkan pelaku usaha menjaga ekosistem dan mencegah pencemaran.
UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang mengatur sanksi pidana bagi kegiatan penambangan tanpa izin resmi (Pasal 158).
Berdasarkan aturan tersebut, masyarakat nelayan berhak mengajukan keberatan dan menuntut penghentian operasi tambang yang merusak ekosistem dan mengganggu aktivitas perikanan tradisional.
Desakan masyarakat pun semakin kuat agar aparat penegak hukum turun tangan. Nelayan meminta Kapolda Kepulauan Bangka Belitung Irjen Pol Viktor T. Sihombing serta Wali Kota Pangkalpinang segera menindak tegas pelaku tambang ilegal yang beroperasi di wilayah perairan nelayan.
“Ini soal hak hidup nelayan yang dilanggar secara terang-terangan. Jika dibiarkan, bukan hanya lingkungan yang rusak, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Babel akan semakin hilang,” tegas perwakilan nelayan.















