Bangka Barat, Gaspar86.com — Lomba Tafsir Al-Qur’an pada Musabaqah Tilawatil Qur’an dan Hadits (MTQH) XIV Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di ruang OR 2 Sekretariat Daerah Bangka Barat menegaskan kembali pentingnya pembumian tafsir dalam membangun karakter masyarakat Babel di era digital.
Dalam wawancara eksklusif, Hakim Tafsir Al-Qur’an, Dr. Iqrom Faldiansyah, M.A, menegaskan bahwa tafsir bukan hanya ajang kompetisi, tetapi strategi navigasi moral kolektif. “Petunjuk hidup di dunia ini adalah Al-Qur’an. Jalan ke hutan tanpa petunjuk akan sesat, begitu juga laut tanpa kompas,” ujarnya, Minggu (09/11/2025).
Menurutnya, tanpa panduan ayat, manusia rawan bertabrakan kepentingan sosial layaknya kendaraan tanpa lampu lalu lintas. Ia mencontohkan analogi lampu merah, kuning, hijau di Pangkalpinang sebagai ilustrasi praktis pengelolaan emosi dan arah tindakan.
Dr. Iqrom menilai keterlibatan generasi muda melalui lomba tafsir berpotensi mencegah degradasi etika publik akibat banjir informasi digital. “Kalau ayat-ayat itu hanya dipahami tanpa dibumikan, ia akan mengawang di langit. Padahal Tuhan menurunkannya agar membumi,” tegasnya.
Hasil penelusuran jurnalis menunjukkan bahwa perubahan pola interaksi sosial, kompetisi sosial tanpa norma, dan bias informasi di Babel membutuhkan intervensi nilai berbasis Quran. Akademisi memandang tafsir memiliki fungsi korektif mengendapkan kebijaksanaan di tengah kebisingan konten digital.
Menyoal perluasan dakwah ke ruang digital, Dr. Iqrom menyebut kampusnya telah memproduksi podcast Islami untuk publik. Namun ia mengakui, MTQH belum masuk tahap inovasi platform. “Mahasiswa diarahkan membuat konten dakwah untuk mencerdaskan masyarakat. Tafsir itu harus diamalkan,” katanya.
Investigasi redaksi menemukan bahwa ruang digital Babel masih minim konten Qur’ani yang ilmiah, sehingga peluang penguatan narasi Qur’ani di ruang siber masih terbuka lebar untuk digarap generasi baru.
Tafsir sebagai Modal Pembangunan Karakter Daerah
Pesan besar yang muncul dari ruang lomba: tafsir bukan hanya disiplin ilmu, melainkan medium melunakkan perangai sosial, membangun empati, dan menjaga peradaban lokal dari disintegrasi moral.
Perhelatan lomba tafsir ini bagi penyelenggara merupakan ritual kecerdasan spiritual, yang mempertautkan hafalan dengan tindakan sosial, lisan dengan hati, teks dengan aksi. Di tengah dunia yang kehilangan orientasi nilai, Al-Qur’an kembali ditawarkan sebagai kompas yang tak berkarat.
Sebagaimana garis dasar editorial penyelenggara, pembumian ayat diyakini bergerak dari podium lomba menuju halaman rumah masyarakat. Narasi tafsir mengalir ke desa dan kota, menundukkan ego, mengangkat martabat, dan menyejukkan jagat sosial.
Di Mentok hari ini, tafsir bukan lagi “sekedar acara MTQH”. Ia sedang disiapkan sebagai pilar pembangunan karakter Babel di tengah pusaran perubahan budaya yang semakin cepat.

















